galeri - tetesan air mata

Jumat, 16 April 2010

Napi ditebas kepalanya nyaris putus

Dominggus Lere Dawa (35), nara pidana (Napi) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kabupaten Sumba Barat (Sumbar), tewas dibunuh di Pasar Inpres Waikabubak, Ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Jumat (16/4/2010), sekitar pukul 15.30 Wita.

Napi asal Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, ini dibunuh Lukas Loto Mbata (40), di depan Toko Sinar Lombok Waikabubak, atau samping bangunan pos jaga yang sehari-hari menjadi mangkal para pedagang ayam dan anjing.

Lere Dawa ditebas dari belakang hingga leher bagian belakang nyaris putus dan hanya menyisakan kulit saja. Diduga motif pembunuhan karena dendam lama. Lere Dawa dibunuh saat ia berjalan menuju pasar hendak menunggu bus menuju Lapas.

Sejak pagi hari sampai siang, Lere Dawa bersama sejumlah temannya membersihkan rumput di halaman kantor Bapedalda Sumba Barat atas permintaan instansi itu. Namun, usai membersihkan rumput Lere Dawa berpisah dengan teman-temanya.

Diduga saat itu Lere Dawa hendak pesiar di Pasar Inpres sebelum menumpang bus menuju Lapas. Sesampai di Pasar Inpres itulah korban dibunuh oleh Lukas Mbata yang diduga kuat telah mengintainya selama ini.

Sementara itu, Lukas Mbata langsung menyerahkan diri ke Pos Polisi yang berada di Pasar Inpres Waikabubak. Selanjutnya petugas polisi menyerahkan ke Polres Sumba Barat guna diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku beserta sebilah parang penuh darah. Pantauan Pos Kupang di Polres Sumba Barat, pelaku pembunuhan masih menjalani pemeriksaan intensif.

Kepala Lapas Sumba Barat, Heru Sutiyono, yang dikonfirmasi Pos Kupang di kantornya di Lapas, membenarkan korban yang tewas dibunuh di Pasar Inpres Waikabubak adalah napi Lapas tersebut.

Dia menjelaskan, Lere Dawa adalah napi dalam kasus pembunuhan dengan masa tahanan enam tahun lebih. Lere Dawa sudah menjalani masa hukuman tiga tahun lebih. Sesuai prosedur yang berlaku di Lapas terhadap tahanan yang sudah menjalani hukuman lebih dari setengah masa hukuman dan berdasarkan penilaian yang bersangkutan baik, rajin, taat, patuh dan tidak mendapat keberatan warga, maka tahanan tersebut dapat menjalani program asimilasi.

Meski demikian, kata Heru, tidak berarti setiap hari tahanan keluar lapas. Hal itu sangat tergantung kebutuhan program lapas. "Kebetulan hari ini korban bersama beberapa teman membersihkan rumput di Kantor Bapedalda Sumba Barat atas permintaan kantor itu. Korban bersama temannya berangkat dari Lapas pukul 08.00 Wita, dan sesuai jadwal kembali ke Lapas pukul 16.00 Wita. Sesuai informasi yang diperoleh pembersihan di kantor Bapedalda selesai pukul 13.00 Wita. Dan, pihaknya juga baru mengetahui kejadian itu sesaat setelah mendapat khabar korban dibunuh di Pasar Inpres Waikabubak sekitar pukul 15.30 wita," katanya.

Setelah mendapat kabar itu, jelas Heru, pihaknya mengecek ternyata benar korban adalah napi Lapas Sumba Barat. Menindaklanjuti kejadian itu, demikian Heru, pihaknya telah mendatangi Rumah Sakit (RS) Lende Moripa untuk memastikan keberadaan jasat korban dan telah mengutus staf mendatangi keluarga korban guna menyampaikan keadaan sebenarnya.

Disaksikan Pos Kupang, sesaat setelah pembunuhan korban dilarikan ke RS Lende Moripa untuk divisum. Hingga semalam jasat Lere Dawa masih terbaring di kamar jenazah RS Lende Moripa.


Kamis, 08 April 2010


SBY-Boediono Dianggap Gagal Lindungi Kaum Minoritas


Jakarta
- Kongres International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association (ILGA) dibatalkan secara paksa oleh Forum Umat Islam (FUI) Jawa Timur. Tindakan pengrusakan, penyerbuan serta pembubaran kongres ILGA tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bisa dibiarkan dan harus diberi sanksi hukum karena melanggar demokrasi dan penegakan HAM.

"Kami mengecam kepolisian yang sejak awal menghalang-halangi dengan memberikan izin bagi penyampaian hak berkumpul dan berorganisasi bagi kawan-kawan ILGA Surabaya," kata juru bicara LSM Perempuan Mahardika Vivi Widyawati dalam rilis yang diterima detikcom, Sabtu (26/3/2010).

"Dan akhirnya berlanjut dengan membiarkan hingga penyerbuan, pemukulan dan pembubaran paksa terhadap Gathering ILGA di depan mata pihak kepolisian," imbuh Vivi.

Vivi mengatakan, apa yang dialami oleh peserta kongres ILGA ini merupakan bukti nyata bahwa pemerintah SBY-Boediono, parlemen dan elit-elit politik tidak sanggup memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas.

"Kami menyerukan kepada semua organisasi perempuan, pro demokrasi, buruh, tani dan mahasiswa untuk tegas membela demokrasi dan membangun persatuan melawan
musuh-musuh rakyat

HARI BURUH

DEMONSTRASI BURUH

Aksi Satu Mei di Semarang

Buruh dan mahasiswa bergabung melakukan demo menyambut Hari Buruh
Sedunia. Agitasi politik yang perlu diwaspadai.

SEKITAR 1.000 buruh dan 250 mahasiswa menggelar unjuk rasa menyambut
Hari Buruh Sedunia, Senin, 1 Mei lalu. Mereka mengaku dari organisasi
Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dan Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Sembari membentangkan poster "Peringatan Hari Buruh Sedunia", para
demonstran berkumpul di sepanjang Jalan Atmodirono, masih dalam kawasan
kampus Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Di bawah komando Kolap
Yoko, dari SMID Surabaya, pengunjuk rasa berjajar menggunakan tali rafia
dan beriringan menyusuri jalan menuju Simpang Lima, Semarang. Sambil
menenteng poster "Bebaskan Buruh Berorganisasi", demonstran yang terdiri
dari buruh dan mahasiswa itu menyanyikan lagu Halo-halo Bandung, sambil
meneriakkan "hidup demokrasi".

Menurut laporan wartawan Gatra, di perempatan Simpang Lima para
demonstran membagikan poster. Kolap Yoko, di persimpangan itu, menggelar
mimbar bebas. Ia berbicara tentang keberadaan buruh. Petrus Hariyanto,
Sekjen SMID, mengatakan bahwa buruh dan mahasiswa harus bekerja sama
untuk kepentingan demokrasi.

Sementara aksi mimbar bebas berlangsung, seorang polisi lalu lintas
dengan pengeras suara meminta demonstran agar tertib dan pindah ke
lapangan rumput di sebelah. Tapi massa terus bergerak. Sembari berteriak
menuntut kenaikan upah, para pengunjuk rasa melaju ke bunderan air mancur
di hadapannya, yaitu di Jalan Pahlawan, sekitar 50 meter dari kantor
gubernur.

Aparat keamanan pun bersiaga. Sepeda motor polisi mulai melakukan
blokade, menghadang barisan. Kapoltabes Semarang Kolonel (Polisi) H.M.
Adang Rismanto memimpin anak buahnya menghentikan laju demonstran.
Sampai-sampai Adang Rismanto terdorong-dorong oleh massa. Akhirnya,
dengan menggunakan pentungan, polisi mulai beraksi.

Serombongan aparat keamanan berpakaian preman merangsek menyerobot poster
dan spanduk. Tapi massa kelihatan marah dan melawan petugas. Lalu barisan
keamanan menarik beberapa massa demonstran yang berada di barisan
terdepan. Mereka segera dimasukkan ke mobil polisi untuk diamankan.

Massa demonstran pun bubar berlarian ketakutan. Mereka dihalau menuju
kampus Undip. Tak kurang dari 15 demonstran mahasiswa dan buruh yang tak
teridentifikasi mulai diperiksa polisi. Di antaranya, Petrus Hariyanto,
Kolap Yoko, Bimo Petrus, Lukman dari Jakarta. Lalu Sutrisno, seorang
buruh, dan seorang lagi buruh perempuan.

Mereka dipersalahkan mengganggu ketertiban umum, dan masih dalam proses
penyidikan. Kepada Yudi Sutomo dari Gatra, Adang Rismanto menandaskan
bahwa tindakan petugas sudah sesuai dengan prosedur. Terjadinya insiden,
katanya, karena demonstran sudah keterlaluan. "Awalnya kan kami sudah
mengimbau agar mereka membubarkan diri," kata Adang. "Tapi mereka
membangkang dan bahkan petugas dilawan." Para demonstran, yang terdiri
dari mahasiswa dan buruh PT Surya Indah Garmindo, PT Kreasi Plastik
Indotama, PT Queen Ceramic Setiabudi, dan juga PT Murti Plastindo, akan
tetap diproses.

Aksi serupa dilakukan oleh puluhan buruh dari PPBI dan mahasiswa yang
tergabung dalam SMID ke kantor menteri tenaga kerja di Jakarta. Aksi itu
dibubarkan dan beberapa orang ditangkap, termasuk Ditasari, Sekjen PPBI.

Keesokan harinya, sekitar 60 anggota PPBI dan SMID berdelegasi ke Komnas
HAM di Jakarta. Di hadapan Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa, rombongan
meminta agar temannya yang ditahan sehari sebelumnya di Jakarta dan
Semarang segera dibebaskan. Pada saat yang bersamaan, 26 mahasiswa Undip
yang tergabung dalam Forum Komunikasi Lembaga Kemahasiswaan (FKLK)
menemui E.Susilo, Sekretaris Komisi E Bidang Kesra DPRD Jawa Tengah. Dan
akhirnya seluruh demonstran dibebaskan. Tapi Poltabes Semarang tetap
melanjutkan pengusutan perkara.

Yang menarik, kehadiran FKLK mendapat reaksi dari Senat Mahasiswa (Sema)
Undip. Menurut Nur Hidayat, Ketua Sema Undip, kehadiran rombongan
mahasiswa ke DPRD itu di luar kontrol Senat Mahasiswa Undip. "Kami
tandaskan, FKLK itu secara politis dan ideologis sama sekali tak
mendukung aksi dari SMID dan buruh," katanya. "Kami juga merasa
dilangkahi oleh tindakan FKLK." Dan lebih dari itu, perlu diketahui pula
bahwa SMID di Undip berada di luar struktur.

SMID mengaku berdiri dari hasil kongres di Jakarta, 3 Agustus 1994.
Embrionya bermula dari sekumpulan tokoh aksi solidaritas mahasiswa di
berbagai kota di Indonesia. Mereka mempunyai program politik: progresif,
radikal, demokratis, dan prodemokrasi.

Menurut Sekjen SMID, Petrus Hariyanto, SMID adalah organisasi tingkat
nasional. "Program politik SMID, mewujudkan kebebasan berorganisasi,"
katanya. Termasuk ikut berperan dalam hal kerakyatan. "Kami tak cuma
memperjuangkan kaum buruh, juga mereka yang tertindas," kata Petrus
kepada Gatra. Karena itu pula, untuk menyambut Hari Buruh Sedunia, SMID
bergandeng tangan dengan PPBI menggelar aksi demo memperjuangkan
kepentingan buruh.

PPBI adalah sebuah organisasi serikat buruh yang bebas. Berdiri pada
tanggal 23 Oktober tahun lalu, dan mengaku sebagai hasil kongres luar
biasa para buruh dari Semarang, Solo, Surabaya, Bogor, Jakarta, Bekasi,
dan Medan, di kota sejuk Ambarawa, Jawa Tengah. Organisasi ini katanya
berjuang untuk kepentingan buruh di mana saja. Misalnya memperjuangkan
upah minimum nasional (UMN), yang menurut perhitungan PPBI adalah Rp
7.000 sehari. Lebih besar dari upah minimum (UMR) yang ditentukan
pemerintah.
Tak cuma memperjuangkan soal upah minum, mereka juga menuntut kebebasan
berserikat. Petrus pun tak lupa mengungkapkan keinginannya membuat partai
baru.

Menurut Bomer Pasaribu, Sekjen SPSI, pada hakikatnya yang namanya
demonstrasi itu sah dan patut didukung. Sebab salah satu yang
diperjuangkan SPSI selama ini adalah kebebasan buruh berdemo. Cuma unjuk
rasa dilakukan, katanya, terutama terhadap majikan atau perusahaan yang
bandel dan tak menaati peraturan. Tapi kalau demonstrasi digerakkan oleh
PPBI dengan menggunakan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia, katanya, itu
jelas sudah tak benar.

Kenapa? Menurut Bomer, 1 Mei itu Hari Buruh zaman Orde Lama. Dan sudah
diganti dengan Hari Pekerja Nasional, 20 Februari, sejak tahun 1973. "Itu
deklarasi Persatuan Buruh Indonesia yang oleh Pak Harto dikukuhkan
menjadi Keppres Nomor 9 Tahun 1991," kata Bomer. Menurut Bomer, aksi demo
dengan memakai pola komunis dan memiliki sifat agitasi propaganda ala 1
Mei itu menjadikan pekerja sebagai komoditas politik. Dan itu, katanya,
sudah harus ditinggalkan. Kepada Gatra, Menaker Abdul Latif memang sudah
mensinyalir bahwa unjuk rasa itu ditunggangi pihak ketiga

Rabu, 07 April 2010

hari buruh

USUT TUNTAS DUGAAN KORUPSI DI SEKTOR BURUH MIGRAN (TKI)

formatnews - Jakarta (17/12): TIM Pembela Burub Migran Indonesia (TPBMI), gabungan SBMI, Migrant CARE, JALA PRT, PBHI, LBH APIK, PBHI Jakarta, PBH PERADI, KSBSI, FSBI, ICW, Kamis (17/12) mengeluarkan pernyataan sikap sehubungan dengan proses penempatan BMI/TKI keluar negeri yang telah menyumbang banyak manfaat bagi Indonesia.

Selain mengurangi jumlah angka pengangguran yang menurut data BPS mencapai 9 juta pengangguran terbuka dan 40 juta pengangguran terselubung, pemerintah Indonesia juga terbantu dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Menurut data yang diperoleh dari berbagai sumber, pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah menempatkan 748.000 buruh migran di luar negeri atau meningkat 7,5% dari tahun 2007 sebesar 696.746 orang. Pemerintah bahkan menargetkan akan menempatkan 1.000.000 buruh migran setiap tahunnya. Dari proses penempatan buruh migran, di tahun 2008 saja remitansi yang mengalir ke Indonesia mencapai Rp. 100 trilyun atau 8,6 milyard USD (kurs saat itu).

Namun sangat kita sesalkan, demikian pernyataan sikap tersebut, di balik manfaat yang diterima oleh negara, BMI/TKI justru tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan sebagaimana mestinya.

Sebaliknya BMI/TKI dijadikan objek pemerasan oleh para mafia pemeras TKI sejak proses pengiriman sampai kembali lagi ketanah air. Amanat konstitusi “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…” (Pembukaan UUD 1945 alinea IV) menjadi terabaikan dengan kentalnya kepentingan “bisnis” dibalik pengiriman/penempatan BMI/TKI.

Menurut laporan hasil kajian Direktorat Monitor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sistem Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) telah ditemukan banyak sekali dugaan korupsi dalam alur proses penempatan BMI/TKI.

Bisa dibayangkan --menurut laporan tersebut-- besarnya suap rutin yang berasal dari pelayanan pengurusan dokumen CTKI dan suap periodik yang diterima oleh oknum petugas/pejabat BP2TKI, adalah sekitar Rp. 2,55 miliar per bulan atau Rp. 30,60 miliar per tahun dengan rincian perhitungan, dugaan suap untuk pelayanan pengurusan dokumen = 37.231 x Rp.40.000,- = Rp.1.489.240.000,-

Kemudian, dugaan suap periodik = 318 x 5 x (Rp.2.000.000,-/3) = Rp.1.060.000.000,-. Total dugaan suap rutin per bulan Rp.2.549.240.000,- dengan asumsi rata-rata jumlah CTKI yang diberangkatkan per bulan 37.231 orang. Sedangkan suap periodik diasumsikan dilakukan tiap 3 bulan sekali.

Kita juga bisa melihat contoh biaya tidak resmi yang dikenakan atas pelayanan publik semasa penempatan TKI/BMI dengan berbagai jenis pelayanan. Dengan rata-rata jumlah SIP yang diterbitkan sebanyak 1.300 lembar/bulan, berarti rata-rata jumlah pungutan liar dari penerbitan SIP adalah sekitar Rp.100.000.000,- per bulan.

Berdasar pemantauan Tim Help Desk Migrant CARE, juga ditemukan banyak sekali pungutan liar (pungli) untuk jasa portir, ticketing, money changer, cargo, dll. di Terminal Khusus TKI (Gedung Pelayanan Kepulangan TKI).

Sudah bukan rahasia umum kalau sejak dari Terminal Kedatangan (terminal 2) setiap buruh migran akan mengalami pemerasan berkedok kata ”seikhlasnya” dengan jumlah besaran variatif antara Rp.50.000,- - Rp.100.000,- dan tidak jarang dibayar dengan mata uang asing yang kursnya jauh lebih besar. Jika rata-rata TKI/BMI yang pulang melalui Gedung Pelayanan Kepulangan TKI (GPK TKI) setiap harinya 800 orang (data BNP2TKI) dan asumsi bahwa setiap buruh migran mengeluarkan uang sekitar Rp. 50.000,- maka uang yang terkumpul setiap bulannya bisa mencapai Rp 1,2 miliar.

Berdasarkan hal tersebut, Tim Pembela Buruh Migran Indonesia (TPBMI) menyatakan sikap & tuntutan sebagai berikut: 1). Sebagai bagian dari masyarakat sipil anti korupsi kami mendukung dan menagih janji KPK untuk mengusut tuntas dugaan korupsi di sektor buruh migran (Tenaga Kerja Indonesia). 2. Mendesak pemerintah untuk memberantas mafia pemeras TKI/BMI