galeri - tetesan air mata

Jumat, 19 Maret 2010

Imaginasi geografis

Pengetahuan soal terorisme dan aksi-aksi teror dan perang melawan teror yang saya kemukakan itu, tentu saja tidak memuaskan. Olehnya, perlu cara pandang lain. Di antaranya, yang penting adalah mendudukkan soal ini dalam konteks pertumbuhan kapitalisme dan imperialisme mutakhir, sesuatu yang kurang diperhatikan atau bahkan hilang sama sekali dalam percakapan di tanah air.

Ringkasnya, kalau pakai imaginasi geografis dengan metoda historical-geographical materialism, terang kemunculan gerakan anti-AS, terutama aksi-aksi teror, langsung atau tidak langsung berhubungan dengan proyek kapitalisme dan imperialisme dalam 30 tahun terakhir. Ambisi AS mengontrol kekayan minyak di Timur Tengah dan di Asia Tengah, dikombinasikan dengan hasrat menguasai politik global menjadi pemicu lahirnya aksi-aksi teror yang dilakukan aktor non-negara. Aksi-aksi ini semakin menjadi, ketika Perang Dingin bubar, dan semua negara modern secara bertahap tunduk dan ditundukkan di bawah logika kapitalisme.

Pendek kata, bermula dari Timur Tengah. Kita tidak bisa menutup mata, tahun 1991, AS membangun pangkalan militer di Arab Saudi, dalam perang melawan Irak, negeri sekutunya dalam perang Iran (1980 – 1988). Pembangunan ini memicu hadirnya gerakan-gerakan teroris seperti Al-Qaeda, yang menafsir kehadiran itu sebagai penguasaan terhadap dunia Islam. Kemudian, AS menganggap Irak di bawah kediktatoran Sadam Hussein sebagai musuh berbahaya di dunia, termasuk menuding negeri itu memiliki senjata pemusnah massal, karenanya harus dilumpuhkan. Kalau lihat ke belakang, kepemilikan senjata kimia pemusnah berakar dari dukungan AS kepada Irak, ketika berperang dengan Iran. Tercatat, perusahaan-perusahaan AS, di bawah persetujuan Presiden Reegan dan Presiden Bush Tua, mengapalkan bahan-bahan kimia seperti antrax ke Irak pada masa itu. AS sendiri, dalam persidangan PBB saat itu, menggunakan hak veto menolak tuduhan Irak menggunakan senjata kimia. Irak diduga telah menghancurkan potensi senjata kimianya setelah diinspeksi oleh PBB sepanjang 1990an. Oleh karena itu, serangan AS ke negeri itu dengan dalih soal senjata pemusnah massal, tampak berlebihan.

Pendudukan Irak, jadinya tidak lebih dan tidak kurang dari ekspansi kapitalisme neoliberalisme paling barbar, untuk memulai abad 21. Jika di Indonesia, neoliberalisme diperkenalkan sebagai solusi terhadap krisis ekonomi yang bermuara penumbangan rejim diktator Suharto, maka Irak adalah contoh paling telanjang bagaimana neoliberalisme dipaksakan melalui invasi militer ke sebuah negara berdaulat. Sesaat setelah menaklukkan Irak, AS memaksakan swastanisasi perusahaan-perusahaan negara dan membuka pintu lebar bagi investasi asing di negeri itu. Ini bukti, dominasi kekuatan imperialis di wilayah itu untuk merampas kekayaan minyak yang melimpah ruah. Dan, sekali lagi, dominasi ini hanya menyuburkan aksi-aksi teror, bukan saja di Irak, tetapi juga terhadap semua kepentingan dan simbol-simbol AS dan Barat di mana-mana.

Akar yang agak lebih jauh dari aksi-aksi teror di mana sumbangan AS tidak sedikit adalah ketika menghadapi rejim kiri (1980an) dalam musim Perang Dingin. Itu terjadi dalam perang kontra-revolusi Afghanistan, ketika para mujahidin seperti Usama Bin Laden memperoleh training dari militer AS. Seperti Bin Laden, banyak anak muda dari Indonesia dan Asia Tenggara, yang di kemudian hari dituduh terlibat dalam aksi-aksi teror, adalah veteran perang ini.

Di luar konteks global, akar aksi-aksi teror bisa dilacak ke belakang dalam sejarah Orde Baru. Kita sudah melihat, demi sukses pembanguan ekonomi kapitalistik, pemerintahan Suharto memaksakan politik nasional yang tertib tanpa hiruk-pikuk ideologi. Imaginasi untuk menghidupkan kembali kekuatan politik Islam yang pernah kuat di masa politik liberal 1950an, kandas di masa ini. Dikombinasikan dengan sejumlah aksi kekerasan seperti kasus Tanjung Priok, pembajakan pesawat Woyla, Lampung dan ketegangan-ketegangan simbolik seperti RUU Perkawinan, Azas Tunggal dan larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum, bagaimanapun memicu suburnya radikalisme Islam yang melihat Orde Baru sebagai ancaman bagi umat Islam.

Bubarnya Perang Dingin punya implikasi ke politik nasional. AS ingin mendukung rejim politik pro-pasar sekaligus mulai menghembuskan demokratisasi politik dan hak asasi manusia. Militer, yang sebagian kepentingan bisnisnya dipangkas sejak ‘liberalisasi’ ekonomi dekade 1980an menyusul hancurnya harga minyak, menunggang isyu ‘keterbukaan’ politik mulai mengritik Suharto yang menerjunkan anak dan cucunya dalam bisnis. Suharto kemudian memainkan kartu Islam untuk mengeliminasi para pengritiknya itu. Senjata Islam yang sama juga dipakai untuk menghadapi naiknya protes yang meluas di kalangan buruh dan petani, menyusul industrialisasi yang berlangsung progresif. Mengeksploitasi semangat anti-komunis tahun 1960an, Suharto mengkriminalisasi aksi-aksi populis yang sedang naik daun, dengan stempel komunis. Sejumlah tokoh Islam yang dekat ke Suharto, juga ikut menebarkan ketakutan yang sama. Intinya, Suharto bukan saja memanipulasi sentimen umat Islam untuk menonggak regim kapital dan kediktatorannya, tetapi juga menghidupkan politik identitas Islam, yang di kemudian hari tumpah ruah dengan aneka cara setelah kejatuhannya.

Kamis, 11 Maret 2010

Ekonomi Neoliberal Indonesia

Sebenarnya, krisis pokok ekonomi global—yang lebih dahulu diderita oleh negeri-negeri berkembang—adalah: kelimpahan produksi tanpa daya beli masyarakat (excess supply). Dan krisis itu lah justru yang kemudian mematikan sektor riil; bukan sebaliknya, atau bukan kematian sektor riil yang menyebabkan krisis. Lebih jauh lagi, dilihat latar belakang ideologis penyebabnya, krisis tersebut merupakan hasil dari respon cara pandang liberalisme terhadap pasar liberal dunia. Dan lebih detail lagi, biang keladinya adalah metode ekonomi liberal, yakni: 1) balasan nilai yang tidak setara—berupa pendapatan masyarakat—dari pemilik modal terhadap tenaga kerja (produsen barang dan jasa); 2) spekulasi pasar saham; spekulasi perdagangan uang; dan 3) persaingan dengan pemilik modal lain.
Memang benar bahwa skala operasi modal dan “pemanfaatan” buruh-upahan telah semakin meluas dan meningkat dikarenakan akumulasi keuntungan dan persaingan di antara perusahaan, atau mengakibatkan terjadinya sosialisasi modal (dalam bentuk join-stock company) dan sosialisasi tenaga kerja (dalam bentuk saling ketergantungan manfaat tenaga kerja antar cabang produksi). Formasi joint-stock companies tersebut, yang akan meningkatkan skala produksi, menyebabkan perusahaan-perusahaan yang mereka miliki berpotensi semakin bisa disosialisasikan (social enterprises), atau perusahaan-perusahaan tersebut menjadi semakin menguasai hajat hidup orang banyak. Fenomena social enterprises sebenarnya merupakan tanda, bukti, adanya potensi bahwa sosialisasi tenaga produktif dapat diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat—namun tidak demikian, pada kenyataannya. Fenomena joint-stock companies tersebut terbentuk pada paruh kedua abad ke-19.

Ketika kontradiksi antar perusahaan semakin menajam maka persekutuan agung joint-stock company tak lagi menjadi sakral (untuk dilanggar) karena perusahaan-perusahaan tersebut kemudian, mau tak mau, berkecenderungan monopolistik. Setelah itu tumbuh gejala perdagangan finansial, yang mencari keuntungan spekulatif—yang tak meningkatkan nilai produksi barang dan jasa; yang pasti hanya akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Itu lah gejala yang disebut sebagai perdagangan/bursa saham (Stock exchange), suatu institusi untuk menambah kekuatan modal keuangan (finance capital)—suatu kekuatan yang bisa dibuat mobil dan fleksibel melewati batas-batas nasional, mendunia, menjauhkankannya dari proses produksi langsung (baca: harga sahamnya bisa meningkat tanpa menambah nilai barang dan jasa), dan memudahkannya terkonsentrasi (pada segelintir orang).

Kehidupan ekonomi dan politik yang didominasi oleh kekuasaan finansial negeri-negeri maju menandai babak baru dalam sejarah dunia, babak sejarah dominasi baru yang, bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1871 hingga 1914 (Perang Dunia I), lebih menekan, penuh dengan perubahan-perubahan mendadak, sarat dengan konflik, suatu babak yang, bagi rakyat, akan diakhiri dengan kengerian.

Penguasaan negeri-negeri berkembang dan terbelakang kini dijadikan JALAN KELUAR bagi mereka, dan badan-badan keuangan/perdagangan dunia merupakan perangkatnya. Sekarang penguasaan negeri-negeri berkembang mendapatkan topeng barunya: globalisasi—konsentrasi (baca: penyerakahan) nilai produksi masyarakat oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7.000 (pada tahun 1970) menjadi 37.000 (pada tahun 1992). Perusahaan nasional, langsung atau tak langsung, dilekatkan dengan erat—sampai ke tingkat ketergantungan yang tinggi—pada perusahaan-perusahaan asing besar. Bahkan, kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar ketimbang kekuatan ekonomi banyak negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat dari US$5 trilyun (pada tahun 1980) menjadi US$35 trilyun (pada tahun 1992), dan diharapkan melebihi US$80 trilyun (pada tahun-tahun belakangan ini)—tiga kali lebih besar dari nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negara-negara maju. Dan hasil globalisasi tersebut: pengukuhan kekuasaan finansial, yang bukan saja menguasai perusaaan-perusahaan industri, namun juga bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, tidak saja di Amerika tapi juga di dunia. Menurut Laporan Investasi Dunia 1993, yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 37.000 korporasi transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari korporasi transnasional itu berkantor pusat di negeri-negeri maju.

Jauh dari apa yang disebut “penyebaran aset”seperti yang digembar-gemborkan dalam konsep teoritikus-teoritikus “globalisasi”dan sekali pun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional telah memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negeri-negeri “induk”. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tak setara (uneven), tak adil, dalam hal investasi langsung dan perdagangan global